Selain harus melaksanakan kewajiban-kewajiban
pada saat puasa, kita juga dituntut untuk menjaga diri dari hal-hal yang
dapat membatalkan puasa. Dalam kitab
Fath al-Qarib dijelaskan bahwa perkara yang dapat membatalkan puasa meliputi beberapa hal, berikut perinciannya:
Pertama,
sampainya sesuatu ke dalam lubang tubuh dengan disengaja. Maksudnya,
puasa yang dijalankan seseorang akan batal ketika adanya benda (‘ain)
yang masuk dalam salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian
dalam yang dalam istilah fiqih biasa disebut dengan
jauf. Seperti mulut, telinga, hidung. Benda tersebut masuk ke dalam
jauf dengan kesengajaan dari diri seseorang.
Lubang (
jauf)
ini memiliki batas awal yang ketika benda melewati batas tersebut maka
puasa menjadi batal, tapi selama belum melewatinya maka puasa tetap sah.
Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut dengan
muntaha khaysum (pangkal
insang) yang sejajar dengan mata; dalam telinga, yaitu bagian dalam
yang sekiranya tidak telihat oleh mata; sedangkan dalam mulut, batas
awalnya adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan
hulqum.
Kedua,
Puasa
batal ketika terdapat benda, baik itu makanan, minuman, atau benda lain
yang sampai pada tenggorokan, misalnya. Namun, tidak batal bila benda
masih berada dalam mulut dan tidak ada sedikit pun bagian dari benda itu
yang sampai pada tenggorokan.
Berbeda halnya ketika benda yang masuk dalam
jauf seseorang
yang sedang berpuasa dilakukan dalam keadaan lupa, atau sengaja tapi ia
belum mengerti bahwa masuknya benda pada jauf adalah hal yang dapat
membatalkan puasa. Dalam keadaan demikian, puasa yang dilakukan
seseorang tetap dihukumi sah selama benda yang masuk dalam
jauf tidak
dalam volume yang banyak, seperti lupa memakan makanan yang sangat
banyak pada saat puasa. Maka ketika hal tersebut terjadi puasa dihukumi
batal. (Syekh Zainuddin al-Maliabari,
Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 259)
Ketiga, mengobati dengan cara memasukkan benda (obat atau benda lain) pada
salah satu dari dua jalan (qubul dan dubur). Misalnya pengobatan bagi
orang yang sedang mengalami ambeien dan juga bagi orang yang sakit
dengan memasang kateter urin, maka dua hal tersebut dapat membatalkan
puasa.
Keempat,
muntah dengan sengaja. Jika seseorang muntah tanpa disengaja atau
muntah secara tiba-tiba (ghalabah) maka puasanya tetap dihukumi sah
selama tidak ada sedikit pun dari muntahannya yang tertelan kembali
olehnya. Jika muntahannya tertelan dengan sengaja maka puasanya dihukumi
batal.
Keempat, melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis
(jima’) dengan sengaja. Bahkan, dalam konteks ini terdapat ketentuan
khusus: puasa seseorang tidak hanya batal dan tapi ia juga dikenai denda
(kafarat) atas perbuatannya. Denda ini adalah berpuasa selama dua bulan
berturut-turut. Jika tidak mampu, ia wajib memberi makanan pokok
senilai satu mud (0,6 kilogram beras atau ¾ liter beras) kepada 60 fakir
miskin. Hal ini tak lain bertujuan sebagai ganti atas dosa yang ia
lakukan berupa berhubungan seksual pada saat puasa.
Kelima,
keluarnya air mani (sperma) disebabkan bersentuhan kulit. Misalnya,
mani keluar akibat onani atau sebab bersentuhan dengan lawan jenis tanpa
adanya hubungan seksual. Berbeda halnya ketika mani keluar karena mimpi
basah (
ihtilam) maka dalam keadaan demikian puasa tetap dihukumi sah.
Keenam,
mengalami haid atau nifas pada saat puasa. Selain dihukumi batal
puasanya, orang yang mengalami haid atau nifas berkewajiban untuk
mengqadha puasanya. Dalam hal ini puasa memiliki konsekuensi yang
berbeda dengan shalat dalam hal berkewajiban untuk mengqadha. Sebab
dalam shalat orang yang haid atau nifas tidak diwajibkan untuk mengqadha
shalat yang ia tinggalkan pada masa haid atau nifas.
Ketujuh, gila (
junun)
pada saat menjalankan ibadah puasa. Ketika hal ini terjadi pada
seseorang di pertengahan melaksanakan puasanya, maka puasa yang ia
jalankan dihukumi batal.
Kedelapan,
murtad pada saat puasa. Murtad adalah keluarnya seseorang dari agama
Islam. Misalnya orang yang sedang puasa tiba-tiba mengingkari keesaan
Allah
subhanahu wata’ala, atau mengingkari hukum syariat yang sudah menjadi konsensus ulama (
mujma’ alaih). Di samping batal puasanya, ia juga berkewajiban untuk segera mengucapkan syahadat serta mengqadha puasanya.
Delapan
hal diatas adalah perkara yang dapat membatalkan puasa, ketika salah
satu dari delapan hal tersebut terjadi pada saat puasa, maka puasa yang
dijalankan oleh seseorang menjadi batal. Semoga ibadah puasa kita pada
bulan Ramadhan kali ini diberi kelancaran dan kesempurnaan serta menjadi
ibadah yang diterima oleh Allah
subhanahu wata’ala.
Amin yaa Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam.
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember